Jumat, 14 Juni 2013

Dimanakah Letak Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa Dalam Bidang Pendidikan?

Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik serta negara yang mendasarkan segala sesuatunya atas dasar hukum atau dengan kata lain Indonesia merupakan negara hukum. Sebagai bangsa yang besar, tentunya harus memiliki idiologi yang kuat untuk menunjang pelaksanaan pembangunan bangsa, misalnya pembangunan bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, agama dan sebagainya. Pancasila merupakan idiologi bangsa Indonesia yang dijadikan sumber rujukan pembangunan bangsa dalam berbagai aspek bidang pembangunan yang telah disebutan diatas.
Pancasila tidak lahir secara instan tanpa adanya pemikiran yang pelik, akan tetapi merupakan hasil pemikiran secara kefilsafatan yaitu suatu pemikiran yang mendalam dari para pendiri bangsa Indonesia. Oleh sebab itu Pancasila merupakan suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia, masyarakat dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
Pancasila merupakan falsafah negara yang memuat nilai-nila non-operasinal, sehingga tanggung jawab setiap generasi untuk merealisasikan nilai-nilai dasar ini dalam berbagai bidang kehidupan. Lalu, dimanakah letak Pancasila sebagai paradigma pembangunan bangsa dalam bidang pendidikan? Menurut Notonagoro dalam buku Pendidikan Pancasila (Rukiyati, dkk) menyebutkan bahwasannya pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Melihat definisi tersebut tentunya pendidikan memegang peranan sentral dalam rangka pembangunan manusia yang utuh dalam arti manusia yang bermartabat. Oleh sebab itu pendidikan nasional harus dipersatukan atas dasar pancasila. Sehingga semestinya masalah-masalah dalam pendidikan nasional harus diselesaikan berdasarkan ajaran Pancasila yang menjadi dasar tunggal bagi penyelesaian masalah pendidikan nasional. Untuk itu Pancasila harus dijadikan paradigma atau acuan untuk pengembangan pendidikan, dimana untuk kedepannya pendidikan nasional dikembangkan dengan mengacu pada nilai-nilai luhur pancasila. Hal ini tidak menutup kemungkinan kita mengambil sistem pendidikan dari luar, namun tetap harus disesuaikan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.

Triyani (PKnH A 2011 UNY)

Musyawarah vs Voting; Mana yang Relevan?

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis. Sistem pemerintahan demokratis tercermin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum yang demokratis, Indonesia berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah sistem demokrasi yang bersumberkan pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa yang dijiwai oleh Pancasila. Ciri dari demokrasi Pancasila adalah adanya kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat di Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada sepenuhnya ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Implementasi dari Pasal ini adalah pengambilan keputusan yang didasarkan pada sistem musyawarah mufakat. Musyawarah mufakat merupakan salah satu esensi sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan perwakilan”. Musyawarah dilakukan untuk mewujudkan suasana kekeluargaan dalam mewujudkan keputusan yang adil dan diterima seluruh pihak. Pengambilan keputusan didasarkan atas kesepakatan semua pihak.
Dalam negara demokrasi, cara pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama dengan musyawarah mufakat dan kedua dengan sistem voting. Voting merupakan cara pengambilan keputusan berdasarkan jumlah mayoritas suara pemilih. Voting merupakan salah satu ciri dari negara demokrasi liberal dimana dalam pengambilan keputusan setiap satu orang memiliki suara “one man one vote” Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang menganut ideologi Pancasila, voting tidak menjadi pencerminan sila ke-4 Pancasila. Sila ke-4 Pancasila menghendaki adanya musyawarah dalam pengambilan keputusan. Namun, pada faktanya sistem musyawarah sudah mulai meluntur dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Hal ini tidak sepenuhnya menjadi salah, karena banyaknya faktor yang menjadi pertimbangan. Apalagi Indonesia adalah negara yang menganut sistem perwakilan representatif berdasarkan pemilu. Dalam proses pemilu tentunya sarat adanya unsur voting. Namun inilah demokrasi Pancasila Indonesia. Pemilu Indonesia tetap didasari atas asas LUBERJURDIL.
Pada dasarnya kedua cara tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing. Bagi wilayah Indonesia yang sarat akan nilai-nilai Demokrasi Pancasila, cara musyawarah mufakatlah yang seharusnya kita kedepankan dalam pengambilan keputusan. Apalagi bagi kalangan DPR ataupun lembaga negara yang lain. Dalam pengambilan kebijakan publik, musyawarah mufakatlah yang harus dikedepankan. Namun begitu, sistem voting tidak berarti adalah sistem yang buruk dan dapat kita salahkan. Memang sistem voting bukan ciri dari demokrasi Pancasila, namun dalam kasus tertentu digunakan cara voting. Namun voting yang digunakan juga harus merujuk pada nilai-nilai demokrasi Pancasila tanpa mengurangi esensi kedaulatan rakyat. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa cara musyawarah mufakat haruslah menjadi langkah pertama dalam pengambilan keputusan. Jika sudah tidak ada pilihan lain dan kemufakatan tidak tercapai, maka upaya voting dapat digunakan sebagai alternatif pengambilan keputusan dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai Demokrasi Pancasila.

Ari Setiarsih (PKnH B 2011 UNY)

Berorganisasi? Apa Untungnya?

Menjadi mahasiswa adalah kesempatan. Masuk organisasi adalah pilihan. Ya, dari sekian anak negeri ini yang lulus dari Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK) hanya sebagian kecil yang meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Oleh karena itu, besar harapan masyarakat terhadap kaum muda yang bergelut dengan dunia intelektual ini. Fenomena mahalnya biaya pendidikan, menuntut mahasiswa untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Sehingga segala energi dikerahkan untuk menggondol gelar sarjana/diploma sesegera mungkin. Tak ayal lagi tren study oriented mewabah di kalangan mahasiswa. Tapi apakah cukup dengan hanya mengandalkan ilmu dari perkuliahan dan indeks prestasi yang tinggi untuk mengarungi kehidupan paska wisuda? Ternyata tidak. Dunia kerja yang akan digeluti oleh alumnus perguruan tinggi tidak bisa diarungi dengan dua modal itu saja. Ada elemen yang lebih penting, yakni kemampuan soft skill. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan berkomunikasi dan bahasa, bekerja dalam satu team, serta kemampuan memimpin dan dipimpin. Kapabilitas soft skill ini tidak diajarkan lewat bangku kuliah. Namun, bisa didapatkan melalui organisasi-organisasi mahasiswa, baik itu Organisasi Intra Kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa(BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa(UKM), Mahasiswa Pecinta Alam.
Di dalam kampus saya sendiri memiliki cukup banyak organisasi kemahasiswaan. Hal yang akan di tegaskan di sini adalah keberadaan organisasi mahasiswa menjadi penting karena kemanfaatannya kembali kepada mahasiswa itu sendiri. Mungkin ada yang takut ketika masuk organisasi waktunya untuk belajar akan terganggu yang pada akhirnya berpengaruh kepada lamanya studi. Memang ada sebagian kecil mahasiswa yang lalai kuliah akibat terlalu sibuk mengurus organisasi. Tapi kenyataan juga membuktikan, betapa banyak penggiat organisasi yang berhasil lulus tepat waktu, dan dengan indeks prestasi yang sangat memuaskan. Jadi ini hanyalah masalah manajemen waktu. Selain berfungsi sebagai pembelajaran diri, organisasi mahasiswa merupakan wahana bagi mahasiswa berempati dengan situasi yang terjadi di masyarakat. Negara berkembang layaknya Indonesia, banyak dihadapkan masalah-masalah sosial terutama menyangkut kesenjangan ekonomi, kecurangan, ketidakadilan, dan ketidakstabilan politik. Organisasi mahasiswa membawa para anggotanya bersinggungan langsung dengan persoalan-persoalan ini, sekaligus menggugah rasa kritis untuk mencari solusi atas apa yang terjadi. Organisasi mahasiswa menjembatani domain menara gading kampus yang elitis dengan ruang masyarakat. Sehingga, ketika terbiasa menghadapi problem kehidupan, mahasiswa tidak lagi canggung bergumul dengan ruang baru, baik di masyarakat maupun di dunia kerja selepas lulus dari perguruan tinggi.
Dalam berorganisasi mahasiswa mencoba untuk mencari pengalaman baru serta ilmu- ilmu baru yang bermanfaat melalui kegiatan-kegiatan yang ada dalam organisasi yang mana diharapkan dapat menunjang nilai indeks prestasi mahasiswa itu sendiri. Meskipun terkadang ada sebagian orang yang berasumsi bahwa organisasi mengganggu perkuliahan.  Dengan berbagai persepsi, pandangan serta paradigma dari para mahasiswa itu sendiri, diantaranya: Organisasi itu tidak penting, buang-buang waktu, membuat nilai mahasiswa menurun karena terlalu sibuk di organisasi, sedangkan kuliah terbengkalai, organisasi itu tidak ada manfaatnya, hanya menganggu kegiatan kuliah, bahkan ada yang mengatakan bahwa mengikuti organisasi itu untuk belajar berbohong. Akan tetapi semua itu kembali lagi dalam diri individu mahasiswa  itu sendiri bagaimana ia mengikutsertakan organisasi itu dengan baik tanpa adanya kesimpangsiuran antara organisasi dengan perkuliahan itu sendiri.

Yudhi Maryoto (PKnH B 2011 UNY)